Rahmat Jabaril dan Ruh Chairil

Apa yang kau temukan ketika membaca buku kumpulan puisi dari seorang penyair yang pertama kali kau dengar namanya? Apakah perenungan, kekaguman, atau cuma sejumlah tanya yang bertalu-talu meninju akal yang yang sentiasa dahaga pada yang bernama Jawapan? Seorang pembaca yang baik, yakni pembaca yang tidak masuk neraka orang-orang tolol, seharusnya sentiasa merespon apa yang dibacanya, selain berusaha menggugat kekaguman melulu pada blurb bombastis sebuah buku, kalaupun ianya adalah kebenaran (oh, janganlah saya dilabel skeptis kerana kenyataan ini).

Tidaklah bertemu bulan yang dikhabarkan indah oleh penyair-penyair putus cinta itu jika kau sendiri tidak berani mendongak menentang bulan yang, oh, ternyata begitu hodoh kelihatan dari jendela kamarmu yang busuk oleh pengap bau rokok. Kerana fahaman dangkal ini juga, yang saya temukan entah dari mana, saya tanpa malu-malu menanyakan terus persoalan-persoalan yang saya temukan, misalnya ketika membaca buku kumpulan puisi “Patah” karya Rahmat Jabaril. Tentu saja saya tidak ke Bandung tanah kelahiran si pelukis juga penyair itu, tapi cuma “bertemunya” di laman sosial Facebook. Mujurlah.


“Patah” memuatkan 102 puisi yang ditulis sekitar tahun 1984-2008. Period panjang yang melelahkan, kalaupun bagi seorang aktivis dan penggiat seni. Period yang merentangi kekuasaan rejim kuku besi Soeharto, menyaksikan kebangkitan suara mahasiswa dan golongan buruh, period yang dipenuhi perlawanan dan teriakan-teriakan keras menentang penindasan. Atau tidak berlebihan, period ketika puisi menjelma mimpi buruk presiden, seperti yang di catatkan penyair hilang itu, Wiji Thukul. Lalu dimanakah seorang Rahmat Jabaril meletakkan dirinya?

Tidak lepas dari hakikat manusia biasa yang punya rasa kesal, marah, jatuh cinta, yang berhubung dengan paradoks kemanusiaan, perjuangan, atau sosial politik, Rahmat Jabaril memilih dunia kata-kata yang sememangnya tak lebih buruk dari realiti kehidupan, sebagai tempat menumpahkan pengalaman batin dan fikiran, sebagaimana yang dicatatnya dalam puisi pertama.
Lorong-lorong/ anak-anak kumuh/ kuli-kuli jalanan/ ibu-ibu ngerumpi/ Sampah dan limbah pabrik/ yang menekan/ sesak nafasku/ Ciroyom-Jatayu/ rel kereta api/ gerbong tua/ adalah nafasku/ hari ini!
Catatan seumpama ini boleh saja ditemukan dimana-mana buku diari seorang yang berada di negeri bekas jajahan yang masih diselubungi bayang-bayang kemiskinan. Tapi hei, bukankah tak ada yang lebih puitis daripada kebenaran?Kau di cekungan lensa/ dipandang/ tak berwajah lagi/ tak beri senyum/ kembali.Ironi hidup kadang begitu memenatkan, perjalanan jauh di depan, tapi diri seperti sudah hilang, sesat dalam labirin malam-malam panjang. Pencarian, mencari suatu yang tak pasti. Bertemu, hanya untuk kembali berpisah. Rahmat Jabaril mencatat semua ini dengan sederhana tapi cukup membekaskan suasana dan emosi yang cuba disampaikannya.Hancur lebur di kegelapan/ Api meronta menjilat asa/ merobekkan seluruh halus sutera/ hingga hilangkan/ nyanyian sendu di langit biru.
Bait-bait yang patah, robek, dari rasa kesal. Mencari yang indah, dalam kebenaran yang tidak kunjung datang. Dan Rahmat Jabaril si penyair, manusia kecundang yang masih cuba bertahan dalam “robekan asa”.
Rahmat Jabaril, boleh jadi seorang komunis, Marxist, revolusioner, atau cuma seorang biasa yang berasa edan dengan memakai jaket lusuh dengan bintang merah. Tapi apalah ertinya menilai semua itu sampai melupakan bait-bait puisinya yang membentur di kepala.

Jika revolusi berawal/ dari kamar gelap/ tak berjendela/ maka kau letupkan/ di dadaku timah tajam/ bercahaya.

Terus memanggil-manggil suara-suara kecil, mengibar-ngibar bendera, membakar obor perlawanan buat para bajingan. Sekali, buat yang penghabisan.

Aku masih melihat dan terasa/ itu pahit darah di setiap tetesan/ tak ada tamsil di setiap lolongan/ malam hanya bergumam/ di setiap wirid pencarian kematian/

Setelah beberapa kali membaca, seperti selalunya, saya tak menemukan apa-apa, selain persoalan, persoalan, dan persoalan. Dan satu dari persoalan itu tidak begitu asing lagi dalam kancah puisi zaman dimana buku puisi kini tak lagi memiliki muka hadapan yang membosankan. Zaman dimana puisi diperalat sedemikian rupa untuk melampiaskan keinginan menciptakan katarsis di atas pondasi yang telah utuh berdiri. Sehinggakan puisi menjadi begitu sempit, sesempit liang lahad. Dan seperti halnya dosa-pahala, tak akan ada siapa yang benar-benar tahu, apa si penyair benar-benar mengerjakan puisinya. Apa tiada unsur pretensik berlebihan yang disengajakan. Apa ia benar-benar menuliskan puisi?

Suatu ketika, pada Februari 1954, lima tahun selepas kematian Chairil, terjadi polemik hangat dalam membandingkan sajak Krawang-Bekasi karya Chairil dengan sajak “The Young Dead Soldiers” karya Archibald McLeish. Bagi Asrul Sani yang mengenal Chairil secara peribadi, tiruan ini bukanlah tiruan yang sadar (unconcioused). Membaca sendiri tulisan Archibald McLeish, kemudian membuat saya susah untuk tidak menggugat betapa Chairil adalah seorang plagiat. Sehinggalah saya mendapat tahu tentang puisi yang ditulis TS Elliot yang kemudian diedit oleh Ezra Pound, sehingga TS Elliot mendedikasikan puisi “The Waste Land” itu buat Ezra Pound, “il miglior fabbro” yang bererti “the better craftsman/maker”. Dan istilah ini juga merupakan “kutipan intertekstual” dari karya Dante. Lalu istilah originaliti saya simpan dalam peti, buang ke laut.

Demikian, ketika saya menanyakan langsung kepada Rahmat Jabaril tentang ruh Chairil yang kuat berbekas dalam beberapa puisinya, Jabaril mengatakan hal itu berkemungkinan kerana dia sendiri secara sedar (sangat) mengagumi Chairil. Apa yang tercatat olehnya tidak lain sebagai catatan yang tidak bisa dihindari dari pengalaman rohani dan fikirannya. Intertekstual yang boleh jadi secara sedar atau tidak, tapi masih menciptakan imaji-imaji yang membawa pembaca kepada perenungan, selapis, berlapis-lapis, ataupun cuma seadanya.

Secara peribadi, hampir keseluruhan puisi dalam buku ini hanyalah usaha mencatat perjalanan seorang yang menyedari dirinya penyair, dengan langgam gaya bahasa ungkap masih berbekas daya puitik yang tidak terlalu dibuat-buat. Tak ada kucing menjahit bulan, atau mayat jogging tepi pantai, atau metafora-metafora bombastis yang menuntut pembaca mendalami ilmu ghaib sebelum membacanya. Setiaki Purnasatmoko, yang juga turut menuliskan kata pengantar, menuliskan “puisi bukan hanya kian langka tapi memang ia harus mati lantaran mengabaikan ranah tempat tumbuhnya daya-daya puitik. Untunglah Jabaril bukan jenis penyair yang lagaknya seperti jagoan jadul yang memajang puisi layaknya batu akik nan tak terpermanai”. Sekencang apapun jantung Jabaril berdegup entah kerana marah, ghairah, atau rasa mualnya, kekesalan yang dicatatnya masih berbekas dengan kesederhanaan puitik, suatu hal yang menarik untuk dicermati ketika membaca judul-demi judul kumpulan puisi ini.

4 comments:

Mohamad Farez Abdul Karim berkata...

muka dia macam Rahmat Harun, hehe.

Port Saya berkata...
Ulasan ini telah dialihkan keluar oleh pengarang.
wahyudi my berkata...

Gaya apa? Aku tak cakap pasal gaya pun. Atau intertekstual maksudmu. Itu beza dgn "pengaruh". Aku selalu kabur dgn kenyataan kau.

yudi berkata...

ya, itu kelebihan dunia maya. kau boleh katakan sesuatu tanpa perlu bertanggungjawab. cuma perlu tekan "delete".