Falsafah Lapar Knut Hamsun.




Kota itu bernama Kristiania, tahun 1890. Seorang pemuda berhijrah ke kota untuk menjadi penulis. Setelah tiba di kota, semuanya bertukar tragedi: penyeksaan yang sentiasa meletakkan nyawanya cuma seinci dari kematian. Kristiania, seperti mana-mana kota metropolis lain, bukanlah zon selamat untuk bermimpi. Bukan tempat dimana seseorang hanya perlu menyediakan telur rebus dan pulut kuning untuk memastikan hajatnya tercapai. Apalagi hajat itu datang dari seorang yang tak ada nama, harta, atau pekerjaan tetap. Akibatnya, setiap hari dia mendapati dirinya terperangkap dalam konflik yang sama: dia harus makan untuk menulis, tapi tidak dapat makan jika tidak menulis. Dalam kata lain, menulis adalah satu-satunya eksistensi yang mengesahkan dia masih hidup.


Novel yang ditulis oleh penulis Norway yang juga dilabel 'Nobelis Nazi' ini pernah terbit secara anonim dan merupakan kisah hidup Hamsun sendiri. Ketika para kritikus sastra masih sibuk membahaskan hubungan politikal Hamsun dengan Joseph Goebbel, dan buku-bukunya dibakar oleh aktivis-aktivis anti-fasis, Henry Miller telah mengatakan sesuatu tentang Hamsun: "aku rasa aku sedang membaca versi hidup aku yang lain". Apa yang lebih menarik, Maxim Gorky, penulis/dramatis negara komunis Russia, turut sama mengangkat karya-karya Hamsun sebaris dengan nama-nama penulis besar masa itu sehingga dikatakan mempengaruhi penulisan penulis yang lebih senior seperti Kafka, Fitzergerald, dan Hemingway.


Hunger memuatkan 4 bab yang didasari satu persoalan: Sejauh mana kelaparan dapat menggugat kewarasan akal manusia? Setiap lembar muka surat adalah monolog interior sang protagonis yang membuat realiti terpandang dari sudut lain, sudut yang agak asing tapi mempesonakan. Tragedi memalukan bertukar menjadi humor yang membuat pembaca senyum sendiri seperti melihat adegan orang cacat berak dalam seluar yang baru dibelikan oleh seorang menteri. Ketawa untuk penderitaan orang lain sesuatu yang bukan saja kejam, tapi merupakan kejujuran yang jarang-jarang dipaparkan. Hamsun, salah seorang yang berhasil menuliskan hal seumpama ini.

"I will make my character laugh where sensible people think he ought to cry. And why? Because my hero is no character, no 'type,' ... but a complex, modern being."

Yang membezakan hamsun dengan penulis yang memanipulasikan penderitaan seperti yang digarap dostoevsky atau kemabukan terhadap alkohol seperti bukowski, hamsun tidak menggambarkan antagonistik yang menyalahkan 'masyarakat' atau 'ketamadunan' sebagai penyebab nasib sialnya. Dia lebih menyalahkan Tuhan (yang dia percaya sebagai sosok intervensionis), dalam masa yang sama cuba mempertahankan kehormatan dari orang lain. Protagonis tidak melulu ingin lepas dari beban moral sepenuhnya, tapi masih juga berpusar pada delusi-delusi yang disebabkan oleh kelaparannya.

Dia berjalan, lapar, berjalan, lapar, sehingga akhirnya tertidur dengan perut lapar dan bangun hanya untuk menyaksikan semua itu berulang kembali. Tapi ini bukan cuma kisah seorang lelaki tanpa makanan. Dia bukan Sisyphus, yang sentiasa dibelakangi nasib. Dia masih dapat menyiapkan artikel, lalu mendapatkan 10 kroner untuk menangguhkan kelaparannya beberapa hari. Bahkan ada ketika nasib menyebelahinya disaat dia paling tidak berharap. Seperti ketika dia mendapat beberapa kroner atas kesilapan kerani yang menyangkanya telah membayar untuk lilin yang dipinjamnya. Bertindak sebaliknya, dia merasa tidak selesa, jauh di dalam jiwanya, dia merasa lebih senang ketika poket kosong. Akhirnya dia mendermakan duit itu kepada orang lain dan kembali menjadi lelaki lapar yang cuba menyiapkan artikelnya untuk dihantar ke meja editor.

"How wonderful it felt to be an honorable man again! My empty pockets no longer weighed me down, it was a delight to me to be broke again"

Kedatangan German ke Norway pada tahun 1940 meletakkan Hamsun sebagai pengkhianat di mata patriotis Norway. Hamsun dipaksa melakukan pemeriksaan mental dan akhirnya disahkan mengalami kerosakan mental yang kekal. Dia juga harus membayar 'ganti rugi' kepada kerajaan Norway kerana simpatinya terhadap German. Dan sehingga hari ini karyanya masih dibayangi pandangan politiknya yang menyebabkan karyanya susah mendapat tempat di negerinya. Di balik semua 'kecelakaan' itu, novel Hunger ditanggapi sebagai novel 'revolutionary' yang menyumbang kepada pemahaman baru terhadap sifat semulajadi manusia.

1 comments:

Naskah Percuma berkata...

Pada aku antihero Hunger ini seorang yang obses dengan kelaparan dan penderitaannya sendiri. Ada kala dia mampu keluar daripada kelaparan dan penderitaan yang dialaminya tapi dia memilih untuk menderita. Pada aku pekerjaannya menahan laparlah yang membuktikan dia masih hidup. Dia seorang ascetic tanpa apa-apa pegangan! hehehe