Stabil, Fared Ayam : Kesakitan Yang Dilepaskan
oleh Wahyudi MY
Mahu tidak mahu, puisi seringkali menjadi alat untuk melampiaskan segala macam rasa seorang anak manusia yang menukangi puisi. Puisi menjadi ranjang, menjadi tempat pergumulan emosi, jiwa, atau rasa lainnya yang mulanya hanyalah gelora sebelum dituangkan dalam perkataan. Tiada bebanan bahawa kata yang lahir dari gelora itu harus dipersetujui secocok dengan intensik dan pretensik menuliskan puisi. Kononnya, puisi punya semacam mekanisme memilih pembacanya sendiri. Mekanisme kognitif ini boleh jadi berkait langsung dengan si penulis dimana penulis awal-awal lagi sudah punya gambaran tentang sekelilingnya termasuklah kelompok pembacanya. Sikap realis ini jarang ditemukan pada penulis puisi lainnya, yang lebih senang menyendiri di dalam kegelapan fahaman bahawa mempertimbangkan pembaca adalah sama dengan merendahkan “nilai” karyanya. Ini bisa difahami jika penulis adalah seorang penyair yang telah menuliskan berbelas-belas buku puisi , lalu mempertimbangkan pembaca cuma membataskan ruang gerak kreativitinya. Bagaimana pula jika dia adalah seorang penggiat teater yang, seperti penggiat teater lainnya, berakar kuat pada sikap realis semacam ini?
Mahu tidak mahu, puisi seringkali menjadi alat untuk melampiaskan segala macam rasa seorang anak manusia yang menukangi puisi. Puisi menjadi ranjang, menjadi tempat pergumulan emosi, jiwa, atau rasa lainnya yang mulanya hanyalah gelora sebelum dituangkan dalam perkataan. Tiada bebanan bahawa kata yang lahir dari gelora itu harus dipersetujui secocok dengan intensik dan pretensik menuliskan puisi. Kononnya, puisi punya semacam mekanisme memilih pembacanya sendiri. Mekanisme kognitif ini boleh jadi berkait langsung dengan si penulis dimana penulis awal-awal lagi sudah punya gambaran tentang sekelilingnya termasuklah kelompok pembacanya. Sikap realis ini jarang ditemukan pada penulis puisi lainnya, yang lebih senang menyendiri di dalam kegelapan fahaman bahawa mempertimbangkan pembaca adalah sama dengan merendahkan “nilai” karyanya. Ini bisa difahami jika penulis adalah seorang penyair yang telah menuliskan berbelas-belas buku puisi , lalu mempertimbangkan pembaca cuma membataskan ruang gerak kreativitinya. Bagaimana pula jika dia adalah seorang penggiat teater yang, seperti penggiat teater lainnya, berakar kuat pada sikap realis semacam ini?

Fared Ayam menulis dalam kesedaran terhadap sekelilingnya yang barangkali dipenuhi bau perfume warga kota yang pagi-pagi lagi mengejar kestabilan hidup. Sikap kesedaran ini juga ketara apabila Fared Ayam tidak ingin bermain dengan bunga-bunga bahasa yang melulu rumit, sehingga lucidity mengaburkan fokus hal yang ingin dibicarakannya. Demikian puisi tidak pula identik kepada mana-mana gaya pengucapan, kadang hal-hal biasa yang diucapkan dengan pengucapan biasa, tanpa mengabaikan unsur sastera (literariness) lainnya, boleh jadi begitu menyentuh . Kerana bergumul dengan kata yang sentiasa mencari makna, barangkali sebab itu, seorang yang menuliskan puisi tidak bisa lepas dari pertanyaannya tentang tuhan, dan erti kewujudannya. Puisi “Metafora Dari Tuhan” menimbulkan sikap semacam fatalis, dimana seringkali setiap hal yang terjadi saling berkaitan, seperti daun yang gugur di halaman rumah ingin membisikkan sesuatu, cuma kerana manusia sentiasa terkutuk untuk menjadi begitu bodoh, dan akhirnya harus menyerah kepada finit pengetahuannya tentang alam dan penciptaan.
Tidak berlebihan jika dikatakan seorang penyair adalah makhluk paling pesimis yang berjalan di muka bumi. Tidak hanya menjadi saksi, penyair adalah pencatat peristiwa-peristiwa dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam puisi “Balada Generasi Kedua”, Fared awal-awal lagi telah memberi gagasan terhadap puisinya. Semacam beban untuk menyampaikan pesan atas sebuah kesaksian, kebobrokan yang terjadi di tanah yang turut menjadi saksi rakusnya pembangunan. Entah kerana kemualan dengan situasi dihadapannya, atau ketergesaan, puisi ini aku kira harus ditukangi lagi dari struktur penceritaannya. Puisi jenis balada selalunya bebas dari kekangan rima, tapi penceritaan puisi jenis balada biasanya cenderung berhamburan dengan suasana dan imaji yang disubtilkan , seakan “mengalir” begitu saja tanpa tertahan-tahan oleh bentuk stanza atau susunan rangkapnya. Dua rangkap terakhir “kembalikan kesemulajadian, atau akan aku mulakan hasutan”, semacam ugutan, kalimat keramat yang menutupi jeritan rasa seorang anak kelahiran felda yang sudah muak menjadi saksi kerakusan pembangunan.

Terdapat beberapa lagi puisi yang turut dimuatkan yang rata-rata mengangkat tema-tema persoalan kehidupan lainnya termasuklah cinta. Selain itu catatan-catatan, berupa diari dan dialog-dialog yang mengungkapkan kembali sifat-sifat anti-establishment yang terbelenggu dalam gejolak pemikiran seorang anak muda dalam menghadapi karenah manusia-manusia sekelilingnya. Barangkali, Fared Ayam sudah membayangkan awal-awal lagi kelompok pembacanya, anak-anak muda yang meraikan hidup dalam kegilaan pancaroba kota metropolitan. Kerana itu, catatan-catatan ini cuma berupa ayat-ayat pendek, perbualan, dengan bahasa rojak yang berhamburan sana-sini, yang pastinya tidak menjadi kegemaran ahli lingustik yang cuma mementingkan kononnya estetika bahasa . Aku kira, Fared Ayam tidak ingin dikenal sebagai pujangga bahasa. Dia ingin didengarkan. Dia ingin menjeritkan kesakitannya. Melepaskannya untuk mencipta keindahan sendiri. Seperti yang dicontengnya dengan pen hitam, di bawah signature ala seorang CEO ;
“Keindahan adalah kesakitan yang kau lepaskan”
*kali pertama dimuat dalam Distorsi
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Blog Archive
-
►
2016
(8)
- ► September 2016 (1)
- ► April 2016 (1)
- ► Januari 2016 (1)
-
►
2015
(8)
- ► Disember 2015 (1)
- ► Julai 2015 (1)
- ► April 2015 (2)
-
►
2014
(1)
- ► Oktober 2014 (1)
-
►
2013
(12)
- ► Disember 2013 (3)
- ► September 2013 (1)
- ► Januari 2013 (2)
-
►
2012
(14)
- ► Disember 2012 (3)
- ► November 2012 (2)
- ► Oktober 2012 (6)
- ► September 2012 (3)
-
►
2011
(9)
- ► Disember 2011 (1)
- ► November 2011 (3)
- ► September 2011 (1)
-
▼
2010
(33)
- ► Disember 2010 (1)
- ► Oktober 2010 (1)
- ► September 2010 (1)
- ► Julai 2010 (1)
-
▼
April 2010
(15)
- Once: Sebuah apresiasi
- Puisi Mawar Marzuki dan Mohamad Farez Abdul Karim
- Chairil Anwar Dan Secebis Pemaknaan Ekspresi
- Ulas Album: The Boatman's Call
- Siapakah Pemilik Anjing Yang Tertipu Dengan Bayang...
- Lelaki Romantis Yang Kompleks: Rainer Maria Rilke
- Antara Kesenian dan Kesakitan
- Adaptasi Budaya Dalam Sastera Melayu
- Stabil, Fared Ayam : Kesakitan Yang Dilepaskan
- Puisi Zulkifli bin Mohamed dan Yong Muen
- Membaca Emily Dickinson
- Ulas filem: Into The Wild
- Resensi Buku: The Elementary Particles
- MenuIis Puisi, Meraikan Kehidupan
- Space Gambus Experiment dan Pak Samad
Tentang NP
NP ialah sebuah majalah blog yang cuba menerapkan bahan-bahan penulisan sastera, budaya dan masyarakat terutama oleh penulis-penulis bebas dan baru. Anda juga boleh menyumbang hasil penulisan anda dengan menghantar ke: naskahpercuma@gmail.com
6 comments:
Aku belum pernah membaca sajak2 fared ayam dan artikel ini buat aku ingin membacanya! Syabas.
aku tak beli buku fared sebab aku tak punya wang malam tu. tapi aku malu untuk meminta-minta. Hinakah daku?
soalan: kenapa nama dia ada ayam di belakang?
a'a kenapa ya. Apa-apapun, moga Fared Ayam beroleh rahmat
Tuhan.
Moga dia ikhlas, buat
kerana Tuhan, bukan
kerana orang!
dan bukan juga kerana ayam..huhuhuuh..syabas!
ooo..dia ni wat puisi gak ei..power siot!